Selasa, 07 Agustus 2012

Cinta Dan Air Mata

Aku masih belum bisa mempercayainya. Mendengar kisah cintanya yang begitu memilukan, sekaligus ironis.
Ditengah keasikanku berselancar dalam lautan aksara, tiba-tiba seorang wanita datang, duduk didepanku dan berkata, “Gue masih cinta sama dia.”
13275612142033125993
Ya Tuhan, aku hanya bisa menghela nafas panjang mendengarnya. Mengapa? Ya, karena aku tahu betul bagaimana kisah percintaannya dengan lelaki -maaf- brengsek itu.
Aku rasa tidak berlebihan jika aku mengatakan demikian, karena lelaki itu memang benar-benar bajingan.
Bagaimana tidak demikian, lelaki dengan rambut ikal, wajah kusam, pakaian kumal, dan juga kulit legam melakukan pemanfaatan yang tidak berperikemanusiaan terhadap Diana, teman wanitaku.
Lelaki itu tahu, bahwa Diana begitu mencintainya dan aku tidak tahu mengapa bisa begitu?
Diana adalah teman baikku semasa di SMA. Kami berpisah setelah kuliah. Diana mengambil broadcast di London School, dan sedangkan aku kuliah di UIN Jakarta mengambil jurusan Perbankan Syari’ah.
Diana adalah putri sematawayang dari keluarga yang cukup terpandang. Kedua orangtuanya bekerja. Pak Muliawan adalah seorang PNS di Departemen Keuangan, dan Bu Salma adalah seorang dokter ternama yang wajahnya kerap muncul di televisi mengisi rubrik kesehatan.
Diana termasuk gadis yang pintar, tapi entahlah mengapa untuk masalah memilih pasangan aku rasa ia masih perlu banyak belajar.
“Kok bisa sih Na? kan jelas-jelas dia udah ngehianatin lu,” kataku kesal, “Lu juga udah liat kan dengan mata lu sendiri, kalau dia jalan sama cewek lain.”
“Ya, tapi setelah gw pikir-pikir, nggak ada salahnya kalau dia mau jalan sama cewe lain, dia kan punya hak untuk berteman dengan siapa aja, Mar.”
“Iya. Terus untuk masalah BBM-BBM mesra, foto-foto dia sama cewe, gimana? lu juga udah lihat kan?”
Diana mengangguk pelan membenarkan.
“Lalu apa lagi, Diana?”
“Gue masih cinta dan apakah itu salah?”
“Cinta? kok bisa sih. Dia juga udah kasar kan sama lu?”
Aku jadi teringat kejadian beberapa waktu lalu. Saat Bu Salma dengan paniknya menelponku, mengabarkan kalau Diana pulang dengan wajah lebam di pelipis kanannya.
“Lu kenapa, Na?”
“Nggak apa-apa kok, ini cuma kepeleset aja dijalan.”
“Separah itu?”
“Ya.”
Jujur saja aku tidak mempercayainya, dan benar saja, beberapa waktu kemudian Diana bercerita bahwa luka itu adalah hasil perbuatan dari lelaki bangsat itu. Aku langsung tersulut api kemarahan yang kian menjadi. Kesabaranku sudah hampir memuncak, namun Diana melarangku untuk tidak berbuat kasar pada kekasihnya.
“Tapi lu udah dikasarin kayak gini, Na? dengan alasan yang sepele pula. Ini udah gila! kalau perlu, kita lapor polisi. Ini penganiayaan, Na!”
“Sudahlah, Mar. Lukanya kan bisa sembuh.”
“Tapi luka dihati lu?”
Diana diam sejenak, dan berujar, “Gue ikhlas kok, Mar. Menerima semua perlakuan dia. Mungkin memang gue yang salah. Kurang ini itu ke dia.”
“Ya ampun, Na. Lu itu nggak kurang apa-apa. Justru dia yang kurang, KURANG AJAR sama lu.”
“Sudah, Mar. Gue nggak apa-apa. Dan gue jujur, gue nggak bisa ngikutin saran lu untuk ninggalin dia.”
“Kenapa, Na?” tanyaku kesal, “Lu itu cantik, cerdas, baik hati, dan keluarga terpandang pula, lu itu nyaris sempurna, Na. Kenapa harus memilih dia? Lu bahkan bisa mendapatkan yang jauh 1000 kali lipat dari lelaki busuk itu.”
“Gue sudah terlanjur cinta, Mar.”
“Ah, cinta? Bulshiiit!”
“Please, Mar. Gue butuh pengertian lu sebagai sahabat gue.”
“Gue ngertiin lu, Diana. Tapi justru lu sendiri yang nggak memahami diri lu. Menjalani cinta dengannya itu bukanlah keputusan yang benar.”
“Lu tahu dari mana, keputusan yang gue buat ini nggak benar? lu punya pacar aja nggak.”
“Bukan begitu, Na. Tapi coba lu lihat dengan mata hati lu. Apakah pantas lelaki kasar dan pengeretan macam dia itu mendapatkan cinta tulus lu? gue rasa nggak.”
Diana kembali terdiam cukup lama dan bangkit dari duduknya.
“Na…”
“Ya?”
“Cinta itu adalah kesucian, kasih sayang. Dan cinta tidak seharusnya mematahkan logika.”
“Thanks.”
Diana berlalu tanpa menoleh kepadaku lagi.
13275616281078888222
Sejak hari itu Diana menghilang. Keluarga, teman, dan aku semua mencarinya. Handphone tidak bisa dihubungi. Dewo, lelaki bangsat itu pun aku hampiri ke kosannya, dan dia tidak tahu menahui mengenai menghilangnya Diana.
Sampai akhirnya di pagi buta, datang kabar mengejutkan dari pihak kepolisian Jakarta Pusat yang mengabarkan telah ditemukan sesosok mayat perempuan dengan identitas yang sama dengan identitas teman baikku yang menghilang tiga hari lamanya, Diana Purnamasari.
Semua langsung memburu ketempat kejadian perkara dan semua langsung terkejut seketika melihat Diana sudah terbujur kaku dengan leher tergantung diatas pohon mahoni Taman kota.
1327561725109495452
Bu Salma langsung menjerit histeris dan pingsan. Beberapa teman lainnya yang juga datang menatap tak percaya ke jenazah diana yang mulai diturunkan. Aku sendiri terdiam dalam kesedihan yang menggila. Meneteskan airmata dengan deras dan sambil mengutuki, siapa yang melakukan semua ini?
Jenazah Diana langsung dimakamkan hari itu juga. Bumi menerimanya dengan dingin. Angin sore berhembus menggigit persendianku yang membeku. Aku terpasung pada kenyataan pahit yang harus aku temui, bahwa Diana sudah tidak ada lagi. Diana sudah pergi dengan membawa luka di hatinya.
“Ini tas milik korban. Kami temukan di dekat pohon tempat almarhumah meninggal,” ujar Pak Setyo, polisi yang membantu mengevakuasi jenazah diana.
“Terimakasih, Pak.”
Sesampainya dirumah Diana usai pemakaman. Aku buka isi tas itu. Kutemukan binder biru miliknya. Kubuka halaman demi halaman, catatan demi catatan ku baca sampai di lembaran kesekian, aku terkejut dengan sebuah tulisan, ”Ya Tuhan, ampuni hamba-Mu ini. Kami melakukannya lagi.”
WHAT? apa maksud semua ini?
Aku teruskan membaca dengan seksama.
“Tuhan, dokter Kartini sudah memberikan hasil lab kemarin. Dan ternyata, aku positif hamil. Bagaimana ini, Tuhan? aku bingung harus berbuat apa? Haruskah aku mengabarkan ke Papa Mama? Ah… tapi rasanya itu tidak mungkin. Papa Mama pasti akan kecewa berat. ya Tuhan, berikan aku jalan…”
“Tuhan, hari ini Dewo memukuliku habis-habisan ketika aku mengabarkan kabar bahagia itu. Aku ikhlas menerimanya. Biarkan ia memukuli, walaupun aku sakit. Semua gara2 dia memintaku untuk menggugurkan kandungan ini, tapi aku menolaknya. Aku tidak mungkin bisa. Ini adalah buah dan bukti cinta dari hubungan kami berdua. Biarlah jika Dewo tak mau menerimanya, biar aku yang menanggungnya sendiri.”
“Hari ini aku melihat Dewo memasukan wanita lain ke dalam kamar kos-kosannya. Kupikir, wanita itu mungkin akan bernasib sama denganku, dihamili, lalu di tinggal pergi.”
“Tuhan, aku tidak sanggup lagi… aku ingin mati!”
“Tuhan, ijinkan aku bertemu dengan-Mu hari ini.”
Itu tulisan terakhir dari Diary milik Diana. Aku tutup dengan hati yang basah.
Diana, mengapa kau pergi dengan begitu cepatnya. Dengan cara yang tidak disukai Tuhan.
Oh Diana, kami akan selalu merindukanmu. Semoga Tuhan mengampuni kesalahanmu. Do’a tak putus kami panjatkan untukmu, sayang.
Aku tutup pintu kamar Diana dan meninggalkan buku itu diatas tempat tidurnya. Membiarkan kisah cinta diana yang penuh luka dan airmata itu tersembuhkan dan mengering dengan sendirinya.
1327561899639896628
Diana, cintamu penuh dgn ketulusan, tetapi si BANGSAT itu membalasnya dgn JAHANNAM!
Aku berdo’a, semoga Tuhan memberikan balasan yang setimpal untuk orang yang telah merusak hidup Diana sampai sedemikian.
-Sekian-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar